Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Tambang

Indonesia mempunyai peran yang penting dalam industri global pertambangan dengan produksi utama batubara, emas, timah. Indonesia juga merupakan produsen Lignit (Batubara Muda) terbesar kedua di dunia dan ketujuh untuk produsen batubara keras. Dan juga eksportir terbesar di dunia untuk Batubara Thermal. Nilai industri pertambangan Indonesia diperkirakan akan mencapai 147 Milyar USD secara riil pada tahun 2015. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tetap menjadi tempat teratas untuk proyek-proyek pertambangan baru, diikuti oleh Filipina dan Vietnam. Selain itu, Indonesia merupakan pasar ekspor yang sangat penting bagi pertambangan Australia dan Teknologi Pengolahan Mineral. (sumber: http://www.miningandengineeringindo.com)

Kampanye Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Tambang yang dilakukan oleh federasi tambang afiliasi dari IndustriALL di Indonesia

Tingginya popularitas Indonesia sebagai target investasi di bidang pertambangan tidak diikuti oleh kondisi kesehatan dan keselamatan para pekerja tambang di Indonesia. Setiap tahunnya, ratusan pekerja tambang harus meregang nyawa akibat kecelakaan kerja. Data Kementerian ESDM pada November 2014 menyebutkan bahwa sebanyak 997 pekerja menjadi korban dalam kecelakaan tambang dan 146 diantaranya meninggal dunia, 471 pekerja menderita kecelakaan berat dan sisanya mengalami kecelakaan ringan. Data ini belum termasuk kasus-kasus kecelakaan kerja yang tidak dilaporkan kepada Inspektur Tambang, layaknya fenomena gunung es, jumlah pekerja yang menjadi korban lebih banyak dari data yang ada. Jenis kecelakaan yang paling sering di temui adalah terjepit/tertimbun, terbentur, terjatuh, kejatuhan benda dan terpukul (Sumber: Data Nasional Kementerian ESDM 2010-2014).

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memperkirakan setiap hari enam orang buruh meninggal dunia di tempat kerja. Secara rata-rata, setiap tahunnya terjadi 98,000 -100,000 kasus kecelakaan kerja dan 2400 kasus diantaranya berakibat kematian. Pada tahun 2015, angka kecelakaan kerja mencapai 105,182 kasus dan sebanyak 2,375 kasus mengakibatkan hilangnya nyawa pekerja. Angka ini dipastikan lebih banyak lagi jumlahnya karena kasus-kasus kecelakaan kerja tersebut tidak dilaporkan dan tidak semua pekerja Indonesia tercatat sebagai anggota BPJS.

 Inspektur Tambang VS Panitia Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja (P2K3)

 Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja antara lain menyebutkan tentang pembentukan Panitia Pembina Keselamatan Kerja yang memberikan ruang partisipasi yang efektif dari pengusaha dan serikat pekerja dalam melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Kini hampir 40 tahun sejak diundangkan, keberadaan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja masih belum maksimal dilaksanakan sepenuhnya di tempat kerja. Pada tahun 2012, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). PP ini merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 87 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. SMK3 disebutkan merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Dalam hal ini tujuan dari SMK3 antara lain adalah mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur pengusaha, pekerja dan serikat pekerja.

Dibagian lainnya, wilayah yurisdiksi sektor pertambangan juga menjadi domain utama dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba antara lain menyebutkan bahwa lingkup pengawasan pertambangan dilakukan oleh Inspektur Tambang. Saat ini diseluruh Indonesia baru terdapat total 166 orang inspektur tambang yang harus mengawasi hampir 6500 perusahaan tambang  di seluruh Indonesia. Kedua institusi tersebut sangat diperlukan untuk memastikan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di tambang. Namun, dalam praktek di lapangan terjadi tumpang tindih berbagai kepentingan. Pengusaha tambang yang masuk dalam pertambangan skala nasional, akan dengan mudah menyiapkan tim Kesehatan Keselamatan Kerja sendiri tanpa melibatkan serikat pekerja dalam menggunakan hak partisipasi dan hak konsultasi di tempat kerja.

Konvensi ILO No 176 tentang Kesehatan dan Keselamatan tambang telah ada sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Konvensi ini dapat memberikan perubahan terutama dalam budaya keselamatan dan kesehatan kerja. Konvensi ini memberikan acuan bagi pemerintah yang meratifikasi konvensi ini untuk dapat menciptakan lingkungan kerja tambang yang aman. Konvensi ini memastikan pemerintah bertanggung jawab untuk terlaksananya sistem keselamatan di tambang serta komitmen penuh dari pengusaha tambang. Aspek terpenting dari Konvensi ini adalah Hak Pekerja untuk berpartisipasi dalam keselamatan di tempat kerja melalui lembaga semacam P2K3. Selain itu Konvensi ini juga menekankan akan hak pekerja untuk menolak pekerjaan yang tidak aman.

Pertambangan adalah pekerjaan yang berbahaya, ini bukanlah sekadar ratifikasi akan tetapi bagaimana pemerintah Indonesia berkomitmen penuh untuk melaksanakan maksud dan tujuan dari Konvensi ini.

 Para pekerja mempunyai kebutuhan akan dan hak atas informasi, hak atas partisipasi, pelatihan dan konsultasi yang sungguh-sungguh dan partisipasi dalam penyiapan dan pelaksanaan langkah-langkah keselamatan dan kesehatan tentang bahaya dan resiko yang mereka hadapi dalam industri pertambangan. Untuk mencegah jatuhnya lebih banyak lagi korban tewas, luka/cedera atau sakit dikalangan pekerja atau anggota masyarakat, atau kerusakan terhadap lingkungan yang timbul dari operasi pertambangan, maka diperlukan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang menyeluruh. Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan meratifikasi Konvensi ILO No 176 tentang Kesehatan dan Keselamatan di Tambang.

Poin-poin penting terkait Konvensi ILO No 176

  • Right to Know (Hak untuk Tahu) dan Keterbukaan Informasi dalam Bahaya Fisik, Kimia atau Biologi kepada para pekerja.
  • Pemeriksaan kesehatan secara teratur terhadap pekerja yang rawan terkena bahaya kesehatan kerja di pertambangan.
  • Pengusaha dan Pekerja secara bersama-sama memilih perwakilan keselamatan dan kesehatan dan berpartisipasi penuh dalam pengawasan dan penyelidikan yang dilakukan oleh pengusaha dan oleh pihak berwenang pengambil keputusan di tempat kerja.
  • Hak atas Konsultasi dan Hak atas Partisipasi bagi serikat pekerja mengenai persoalan-persoalan dan langkah-langkah yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
  • Program Pendidikan dan Pelatihan yang memadai dan instruksi yang dapat dimengerti.

Perjanjian Kerja Bersama: Antara Hak & Kepentingan

 

Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya di sebut PKB) adalah salah satu hal yang paling mendasar di tempat kerja, ia hadir sebagai landasan utama bagi serikat pekerja untuk memperjuangkan hak dan kepentingan anggota serta keluarganya. Namun PKB saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang seakan tidak pernah selesai  , ia semestinya terus bertumbuh selayaknya kekuatan serikat pekerja di tempat kerja.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja RI pada Juli 2017, jumlah total PKB di Indonesia tanya berkisar di angka 13,577 PKB. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan jumlah Peraturan Perusahaan (PP) yang mencapai 51,895 PP. Apabila dibandingkan dengan jumlah total perusahaan yang tercatat di Kemenaker yaitu sekitar 213,743 perusahaan, jumlah perusahaan yang mempunyai PKB hanya dikisaran angka 6%.  Apabila kita bandingkan data dari afiliasi IndustriALL di Indonesia, dari 3506 unit kerja anggota 11 federasi afiliasi IndustriALL (FSP KEP, FSPMI, FARKES, KEP SPSI, GARTEKS, KIKES, FPE, LOMENIK, SPN, ISI, dan FSP2KI) hanya sekitar 1290 PUK yang memiliki PKB di tempat kerja. Jumlah yang masih jauh dari ideal.

Lalu apa masalah terbesar dari PKB di Indonesia?

Pada awal tahun 2014, kami mengumpulkan lebih dari 100 PKB yang ada yang berasal dari afiliasi IndustriALL di Indonesia, dan kami menemukan bahwa banyak dari PKB tersebut masih lemah terutama dalam pasal-pasal terkait hak-hak pekerja dan serikat pekerja. Hak-hak pekerja antara lain hak berserikat, hak Mogok (collective action), fasilitas bagi serikat, papan informasi, hak atas informasi, hak atas partisipasi, hak atas kesehatan dan keselamatan kerja serta hak-hak lainnya. Sayangnya, serikat pekerja lebih tertarik untuk mengurusi dan memperjuangkan hal-hal yang sifatnya kepentingan antara lain Upah dan outsourcing.