Menakar Keberpihakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Persfektif Serikat Buruh

Menakar Keberpihakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Persfektif Serikat Buruh

Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)  yang diinisasi oleh Komnas Perempuan dan beberapa organisasi lainnya memberikan peluang adanya perlindungan yang lebih menyeluruh terhadap serikat buruh/serikat pekerja dalam memperjuangkan perlindungan atas kekerasan seksual di tempat kerja.

Isu kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja sejatinya menjadi isu “klasik” perjuangan serikat buruh, sebuah “relasi-kuasa” yang dimulai sejak terjadinya hubungan kerja antara Pengusaha dan Pekerja. Di ruang-ruang tempat kerja dan pabrik, kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual telah terjadi tanpa penanganan yang berarti bagi korban dan sanksi berat terhadap pelaku kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.

Indonesia sendiri telah berkomitmen penuh untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui ratifikasi Konvensi CEDAW pada tahun 1984, disusul dengan ratifikasi Konvensi ILO No 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan pada tahun 1999. Kementerian Tenaga Kerja RI pada tahun 2006 dan 2011 juga  telah berupaya menerbitkan surat edaran tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama dalam Pekerjaan di Indonesia tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.

Namun sepertinya ini masih belum cukup, mengapa? Dalam ruang oto-kritik saya kepada serikat pekerja/serikat buruh, menurut saya ada beberapa hal yang menjadikan isu kekerasan dan pelecehan seksual tidak tertangani dengan baik di tempat kerja:

Masalah kekerasan pelecehan seksual di tempat kerja selalu berakhir di ruang hampa pemaafan dan atau pemecatan pelaku atau korban, ia seakan menjadi ruang gelap yang tidak perlu di bawa ke permukaan. Isu ini masih menjadi isu terbelakang dan bahkan terlihat tidak menarik dalam ruang-ruang perdebatan perundingan PKB di tempat kerja. Akhir tahun 2018 lalu misalnya, Komite Perempuan IndustriALL Indonesia council mengadakan survey terhadap 186 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dari 10 Federasi Afiliasi IndustriALL di Indonesia, sebanyak 77 persen PKB tidak pernah memuat pasal terkait pelecehan dan kekerasan seksual dan hanya ada 31% perusahaan yang mempunyai kebijakan perlindungan pelecehan seksual di tempat kerja, berupa pasal sanksi/hukuman  (yang tidak berat) bagi pelaku kekerasan dan pelecehan seksual.

Apabila kita lihat dalam Pasal 9 RUU PKS disebutkan bahwa pencegahan kekerasan seksual juga meliputi penetapan kebijakan anti kekerasan seksual di korporasi, serikat pekerja, asosiasi penyalur tenaga kerja dan atau pihak lain nya, dan apabila kita merunut pada pasal 113,114, dan 117  terkait pidana pelecehan seksual, kita dapat melihat ancaman pidana maksimum untuk atasan, pemberi kerja dan majikan yang menjadi pelaku dari kekerasan seksual di maksud.  Meskipun memberikan pemidanaan maksimum bagi pelaku kekerasan pelecehan seksual, RUU PKS ini yang nantinya berubah menjadi UU PKS diharapkan dapat memberikan perlindungan yang konkret bagi perempuan di tempat kerja.

Walaupun demikian, pekerjaan rumah serikat buruh ke depan terkait pencegahan dan perlindungan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja akan tetap jalan di tempat dan mengalami kebuntuan apabila Serikat buruh itu sendiri tidak mengangkat isu ini menjadi salah satu isu utama yang layak diperjuangkan di dalam Perjanjian Kerja Bersama.